Jumat, 13 Februari 2009

Profesionalisme Guru Pasca Sertifikasi

Guru adalah salah satu elemen yang menjadi penentu dalam meningkatkan kualitas pendidikan, serta sebagai tolok ukur untuk mengembangkan human resourses (sumber daya manusia). Dalam mengembangkan dan meningkatkan proses itu, guru dituntut untuk profesional dibidangnya.

Pada tahun 2004 guru yang ada di Indonesia 43% telah memenuhi syarat, artinya, 57% tidak/belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak profesional (E. Mulyasa, 2005:03). Tidak terpenuhinya syarat kualifikasi akademik tersebut mengakibatkan kualitas pendidikan jauh dari harapan dan cenderung stagnan. Padahal, kualitas pendidikan sangat menentukan diberbagai sektor kehidupan. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tidak hanya itu, ada juga PP 19/2005 tentang Standarisasi Pendidikan Nasional, serta Permendiknas No. 18/2007 tentang Sertifikasi Guru melalui Jalur Portofolio. Ditambah lagi dengan Permendiknas No. 40/2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui Jalur Pendidikan.

UU tentang Guru dan Dosen yang terdiri dari 6 Bab 84 ayat ini secara makro keseluruhan ketentuannya mendorong guru menjadi professional. Pada tahun 2007, 200.000 guru telah mendapatkan sertifikasi. Hal itu berarti guru yang telah mendapatkan sertifikasi tersebut sudah mendapatkan jaminan profesional. Dalam penjabaran UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah secara eksplisit dinyatakan guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut pasal 29 ayat (1) s.d. ayat 6 PP, disebutkan pendidik (guru) pada pendidikan anak usia dini, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMAlb, dan SMK/MAK harus memiliki kualifikasi akademik minimum diploma empat (D4) atau sarjana (S1). Itu berarti guru yang belum mempunyai kualifikasi akademik minimum D4 atau S1 harus meningkatkan pendidikan minimumnya kalau tidak ingin gugur keguruannya. Artinya kalau ada guru yang tidak berkualifikasi D4 atau S1 maka dirinya memiliki kewajiban untuk meningkatkan pendidikannya sampai terpenuhi kualifikasi akademik minimum tersebut. Kalau tidak, dirinya akan melanjutkan karirnya sebagai guru atau pun kalau bias maka dirinya tidak pernah akan menjadi professional. (Ki Supriyoko, 2006:4-5).

Apabila syarat-syarat professional guru di atas terpenuhi, maka, secara tidak langsung akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pandapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suasana dengan lingkungan belajar yang invitation learning environment.

Adanya pemberlakuan sertifikasi bagi guru, berarti penghasilan pendidik pun akan meningkat. Bentuk peningkatan kesejahteraan guru berupa pemberian tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik. Dalam pasal 16 ayat (1) disebutkan pemerintah memberikan tunjangan profesi bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat; sementara itu ayat (2) menyebutkan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

Selain ketentuan di atas masih banyak lagi pasal dalam UU yang mengatur peningkatan kesejahteraan guru. Misalnya, pasal 15 mengatur tentang gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi sebagai perwujudan dari pendapatan di atas kebutuhan minimum bagi guru (UU Guru dan Dosen, Depdiknas, 2006).

Setelah terealisasinya UU tentang guru dan dosen, tentunya banyak guru yang telah memenuhi kualifikasi, dan telah mendapatkan stempel sebagai tenaga pendidik yang professional. Namun kenyataanya tetap saja belum mampu mendongkrak kualitas pendidikan secara signifikan. Kenyataan yang ada saat ini banyak guru yang telah mendapatkan sertifikasi hanya bekerja “semau gue”, mereka seolah lupa akan beban dan tanggungjawab yang harus dipikul. Seharusnya amanat UU yang telah diberlakukan harus benar-benar direalisasikan dengan sebaik-baiknya. Pada akhirnya Semoga proses sertifikasi yang sudah menjadi politic project (proyek politik) dari para elit, tidak meninggalkan kesan dan cerita miring, bahwa sistem sertifikasi hanyalah menghasilkan kualitas dan kompetensi guru yang dadakan. Seorang guru juga diharapkan bisa mengemban amanah sesuai dengan UU dan tetap menjaga keprofesionalannya.

Oleh karenanya berdasarkan pandangan itu, perlu di evaluasi, bahwa menjadi guru profesional bukan hanya sekedar mengumpulkan portofolio sebagai syarat penilaian, tetapi dibutuhkan sebuah kesadaran bagi semua pihak, terutama pendidik itu sendiri. Apakah memang sudah benar-benar layak untuk menyandang predikat sebagai guru profesional atau belum. Guru yang benar-benar profesional adalah, guru yang memiliki kompetensi, baik akademik, sosial, pedagogik, kepribadian, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui bidang profesi.